Selasa, 11 November 2008

Ingin Buat Rumah

kalo ingin buat rumah....
caranya gampang....
kumpulin uang yang banyak...
sediain lahan yang pengin dibangun...
truss hubungi.................
(0361)8566971
gampangkan..???

Kori

Pada umumnya, kebanyakan dari kita yang tinggal di Bali dan menganut kebudayaan Bali tentunya ingin mempunyai bangunan yang berarsitektur Bali, yang kaidahnya telah mengikuti aturan-aturan yang digunakan dalam membuat rumah arsitektur tradisional bali, yang didasari oleh lontar Asta Kosali dan Asta Bumi.
Hendaknya dalam membuat bangunan yang bergaya ataupun berkonsep arsitektur tradisional bali hendaknya menggunakan jasa yang dapat terpercaya, dalam hal ini Undagi (arsitek tradisional Bali). Karena besarnya resiko (kutukkan Sang Hyang Anala) yang diambil jika kita dengan gampang menggunakan ukuran-ukuran ataupun jarak-jarak dalam membangun rumah, walaupun resiko itu bisa saja terjadi ataupun tidak terjadi menurut kepercayaan masing-masing.
Pada kesempatan ini saya ingin menyampaikan sedikit tentang dunia arsitektur tradisional bali. Kita mulai dari aturan yang dipakai dalam membuat Kori (pintu masuk ke halaman):
Data ini diambil dari Prembon Bali Agung karangan Sri Reshi Ananda Kusuma. Dalam membuat Kori yang biasanya menjadi pedoman dalam ukuran dan tata letaknya adalah tembok pembatas dari bangunan atau halaman. Besar ukuran Kori tergantung dari keperluan, ukuran tubuh pemilik dan jabatan (warna dan wangsa) pemilik, mengenai besar Kori kita bicarakan nanti. Pada saat ini kita akan membicarakan mengenai letak kori yang mana aturannya :

1. Kalau pintu menghadap ke Timur, tembok diukur dari Timur Laut ke Tenggara.
2. Kalau pintu menghadap ke Selatan, tembok diukur dari Tenggara ke Barat Daya.
3. Kalau pintu menghadap ke Barat, tembok diukur dari Barat Daya ke Barat Laut.
4. Kalau pintu menghadap ke Utara, tembok diukur dari Barat Laut ke Timur Laut.

Kemudian panjang tembok yang telah diukur itu dibagi menjadi lima atau sembilan menurut kesenangan anda, tapi kebanyakan orang-orang menggunakan pembagian sembilan. Adapun tiap-tiap pembagian tersebut dapat dijelaskan kebaikan dan keburukan yang di timbulkan sebagai berikut:

· Dibagi Lima:
1. Karta : Sentosa
2. Karti : Baik
3. Kala : Buruk
4. Kali : Susah
5. Sanggara : Menderita

· Dibagi Sembilan:
v Pintu yang menghadap ke Timur:
1. Berputra
2. Sering susah
3. Buruk
4. Pandai
5. Kematian
6. Sentaosa
7. Kaya
8. Dicela
9. Beruntung

v Pintu yang menghadap ke Selatan:
1. Berdosa
2. Beristri
3. Mendapat Pangan
4. Tercapai Maksudnya
5. Sederhana
6. Sering susah
7. Bimbang
8. Sentaosa
9. Kecurian

v Pintu yang menghadap ke Barat:
1. Sering sakit
2. Kedatangan orang tua
3. Berputra
4. Dikuasai oleh istri
5. Kecurian
6. Beruntung
7. Sentaosa
8. Berdosa karena anak
9. Miskin

v Pintu yang menghadap ke Utara:
1. Mendapat uang tidak sah (kayak korupsi)
2. Kaya
3. Berputra
4. Dihormati sesama
5. Sering susah
6. Kaya
7. Kaya karena istri
8. Susah karena orang lain
9. sering susah.

Seperti telah diuraikan di atas resiko baik buruk yang ada, tergantung dari kepercayaan masing-masing.

Minggu, 09 November 2008

Babad bali

Mengenai raja-raja yang berkuasa di Bali dapat kita temukan dari beberapa sumber lontar yang dapat dijadikan pedoman. Walaupun sumber-sumber yang ada mengenai kerajaan di Bali tidak hanya satu pada intinya informasi yang disajikan sama, yang berbeda adalah cara sang penulis menyajikan berbeda.
Salah satu sumber yang ada yaitu dari lontar milik Ida I Dewa Made Oka, Jero Kanginan Sidemen Karangasem dalam buku Babad Dalem menyajikan sebagai berikut:
Pada zaman dahulu Bali dikuasai oleh seorang dari penjelmaan yang sangat buas, kemudian turunlah Sang Hyang Indra (raja dewa dalam umat Hindu) dengan bajra yang dia miliki dapat menaklukan orang itu. Orang tersebut dalam lontar ini diterangkan kembali menjelma kemudian dan disucikan bersemayam di lereng gunung Tolangkir dan di hormati dengan gelar Sri Aji Mesula Mesuli yang kemudian dinobatkan menjadi raja di Bali.
Kemudian raja yang berkuasa setelah Sri Aji Mesula Mesuli adalah raja Bedahulu. Kerajaan Bedahulu dikuasai oleh Kerajaan Majapahit karena kecerdikan Patih Gajah Mada raja yang berkuasa pada saat itu adalah Sri Aji Kalagemet. Karena kerajaan Bedahulu telah hancur maka pulau Bali menjadi tak bertuan, kacau balau tak ada yang memerintah, maka dari itu Patih Gajah Mada memerintahkan Dalem Ketut Kresna Kepakisan menjadi raja di Bali yang merupakan cucu dari Danghyang Kepakisan (Brahmana tersehor pada saat itu). Dalem Ketut Kresna Kepakisan bertahta pada tahun Çaka 1274 (1352 masehi).
Baginda mempunyai beberapa orang putra , tiga putra lahir dari Ni Gusti Ayu Tirta putri dari Sira Arya Gajah Para yaitu:
Ida I Dewa Samprangan, sangat gemar bersolek
Ida I Dewa Tarukan, tidak tertarik hatinya untuk menjadi raja, juga beliau seorang hartawan, ingin melaksanakan darma seorang pendeta.
Ida I Dewa Ketut, suka berjudi berkeliling
Putra yang lain lahir dari Ni Gusti Ayu Kutawaringin yaitu:
I Dewa Tegal Besun, jarak kelahirannya jauh dibandingkan kakak-kakaknya.
Dalem Ketut Kresna Kepakisan wafat pada tahun Çaka 1302 (1380 masehi), digantikan oleh putranya yang ketiga Ida I Dewa Ketut yang bertahta di Gelgel pada tahun Çaka 1305 (1383 Masehi) bergelar Dalem Ketut Smara Kepakisan, wafat pada tahun Çaka 1382 (1460 Masehi) yang telah digantikan oleh putranya pada tahun Çaka 1380 (1458 Masehi) yang bernama Sri Waturenggong.
Dalam pemerintahan Sri Waturenggong Kerajaan Bali mengalami masa keemasan ini terlihat dari banyaknya daerah yang menjadi kekuasaan Sri Waturenggong seperti Blambangan, Puger, Pasuruan, Nusa Pendida, termasuk Sumbawa pada tahun Çaka 1434 (1512 Masehi), sedangkan pulau Lombok sendiri dikuasai pada tahun Çaka 1442 (1520 Masehi). Sri Waturenggong wafat pada tahun Çaka 1472 (1550 Masehi) meninggalkan dua orang putra yang belum dewasa, yang sulung bernama Ida I Dewa Pemahyun dan adiknya bernama Ida I Dewa Dimade. Sedangkan yang menggantikan tahta Sri Waturenggong sendiri adalah Ida I Dewa Pemahyun yang bergelar Sri Aji Pemahyun Bekung pada tahun Çaka 1482 (1560 Masehi) yang dibantu oleh adiknya Ida I Dewa Anom Seganing, sebab raja sendiri kurang cerdas dibandingkan adinya. Pada pemerintahan Sri Aji Pemahyun Bekung kerajaan Bali terpuruk dengan berkurangnya kekuasaan Bali yang ditandai dengan daerah-daerah seperti Blambangan, Pasuruhan, Sumbawa dan lain-lain memisahkan diri, maka dari itu Sri Aji Pemahyun Bekung digantikan oleh adiknya Ida I Dewa Anom Seganing. Pada saat pemerintahan Ida I Dewa Anom Seganing Kerajaan Bali kembali bersinar ini ditandai dengan takluknya kembali Pulau Lombok pada tahun Çaka 1447 (1525 Masehi) dan Pulau Sumbawa pada tahun Çaka 1452 (1540 Masehi).
Pada tahun Çaka 1587 (1665 masehi) Raja Sri Anom Seganing wafat, Kerajaan Bali di pimpin oleh putranya sendiri yang bergelar Dalem Anom Pemahyun, dalam pemerintahan Dalem Anom Pemahyun keadaan Bali kacau balu, adanya perebutan kekuasaan. Hingga pada tahun Çaka 1608 (1686 Masehi) Dalem Anom Pemahyun wafat, yang digantikan oleh anaknya sendiri yang bernama Ida I Dewa Anom Pemahyun Dimade. Ida I Dewa Anom Pemahyun Dimade mencoba menegakkan kembali Kerajaan Bali dan merebut Gegel dari tangan Anglurah Agung Maruti yang telah dikuasai pada saat pemerintahan ayah beliau. Sebelum usaha tersebut berhasil Ida I Dewa Anom Pemahyun Dimade berpulang ke alam baka terlebih dahulu meninggalkan anak-anak baginda yang masih kecil yang bernama I Dewa Agung Gede Ngurah Pemahyun dan I Dewa Agung Ayu Gede Pemahyun.
Pucuk pemerintahan Bali akhirnya di pegang oleh Ida I Dewa Agung Jambe yang merupakan saudara dari Ida I Dewa Anom Pemahyun Dimade. Ida I Dewa Agung Jambe menggempur Anglurah Agung Maruti mencoba merebut kembali Gelgel dan menegakkan kembali kekuasaan Kerajaan Bali, akhirnya usaha Ida I Dewa Agung Jambe berhasil pada tahun Çaka 1626 (1704 Masehi).
☺=TAMAT =☺